Minggu, 08 Mei 2011

PLURALISME AGAMA DAN KEYAKINAN


Kekerasan dan Militansi Kelompok
(Refleksi Atas Kasus Jema’at Ahmadiyah)
Oleh: Mastur Sonsaka
            Kekerasan atas nama agama tak henti-hentinya terjadi dinegeri Bhinneka Tunggal Ika ini. Negeri yang dikenal sebagai negeri yang santun, ramah dan toleran ini tercoreng oleh sekian banyak kekerasan yang dilakukan oleh anak negeri kepada anak negeri lainnya. Secara sosio-antropologis, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk (plural). Hal inilah rupanya yang menginspirasi para pendiri bangsa untuk menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai basis filosofis sebagai upaya merekatkan pluralitas bangsa Indonesia. Namun kenyataan akhir-akhir ini seakan mementahkan upaya para pendiri bangsa tersebut. Dalam masyarakat yang plural, tentu saja potensi konflik dan gesekan social selalau menjadi ancaman, karena sudah menjadi sifat dasar manusia untuk selalu mempertahankan eksistensi dan keberlangsungan spesiesnya. Freud bahkan menyebut manusia memiliki energy dasar dalam mempertahankan diri dengan istilah eros dan tanatos. Energy eros merupakan kekuatan untuk mempertahankan hidup dan energy tanatos merupakan kekuatan dan kecenderungan destruktif pada manusia. Sedangkan Karl Marx menyebut sejarah hubungan manusia dengan manusia lain merupakan hubungan saling menundukkan dan saling mengalahkan. Dalam konteks ini, perilaku kekerasan terhadap orang lain hanya akan memupuk militansi kelompok atau individu yang menjadi obyek kekerasan tersebut. Sebenarnya Habermas adalah salah satu sosiolog terkemuka abad ini yang berupaya mengikis potensi gesekan destruktif akibat pluralitas suatu masyarakat dengan konsep kunci komunikasi. Namun akhir-akhir ini konsep komunikasi yang digagas oleh Habermas tersebut telah terbantahkan, bahkan dinegeri asalnya Jerman. Negara Jerman menolak keras konsep multikulturalisme bangsa karena konsep ini mengancam eksistensi RAS, begitu juga baru-baru ini Perdana Menteri Inggris menolak konsep multikulturalisme bangsa dengan alasan yang sama. Hal ini mengandung makna bahwa kemajemukan merupakan ancaman bagi keberlangsungan suatu bangsa jika tidak disikapi dengan sikap mental yang tepat.

            Bangsa Indonesia yang memiliki sejarah sekaligus pengalaman panjang terkait kesdaran pluralitas dan multicultural pun tidak lepas dari kenyataan gesekan sosio-antropologis, mulai dari konflik antar kampung, antar etnis, konflik antar dan intra agama sampai gerakan separatis. Kasus terbaru yang sedang ramai dibicarakan adalah kekerasan yang dialami oleh jema’at Ahmadiyah Banten setelah sebelumnya juga terjadi di tempat-tempat lain termasuk di Lombok NTB beberapa bulan yang lalu. Kenyataan ini seakan mengaburkan pengalaman panjang dan sejarah panjang bangsa Indonesia atas kesdaran pluralitas bermasyarakat yang terkenal santun ramah dan toleran ini. Tentu saja kasus kekerasan terhadap jema’at Ahmadiyah ini tidak bisa dipandang dengan kacamata tunggal terkait factor pemicunya. Sebagai bangsa yang terbiasa dengan interaksi plural dan multicultural dalam membangun relasi social kemasyarakatan selama berabad-abad, sangat mengejutkan menyaksikan masyarakat Indonesia dalam konteks kekinian seolah-olah gagap dengan perbedaan. Dalam konteks inilah bangsa Indonesia terutama pemerintah sebagai penyelenggara Negara yang dijamin konstitusi harus mulai berbenah dengan meningkatkan supremasi hukum, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menghadirkan keadilan bagi seluruh rakyat Indoensia sebagaimana amanat Undang-undang. Sebab bukan tidak mungkin factor pemicu meningkatnya agresifitas masyarakat Indonesia yang dulunya santun, ramah dan toleran adalah frustasi social yang terakumulasi menjadi paranoid social (kecurigaan sosial) atas ketimpangan yang terjadi.
            Selain itu, kecenderungan dasar dari makhluk yang bernama manusia adalah mempertahankan diri dari setiap ancaman terhadap eksistensi dan keberlangsungan hidupnya, maka setiap tindakan kekerasan terhadap orang atau kelompok lain, dengan sendirinya akan menimbulkan reaksi pertahanan diri bagi orang atau kelompok yang mengalami kekerasan tersebut. Dengan logika ini, menghentikan jema’at Ahmadiyah dengan cara-cara kekerasan bukanlah cara yang tepat, karena sesungguhnya cara-cara kekerasan untuk melarang keberadaan jema’at Ahmadiyah bukan kali ini saja dilakukan dan bukan hanya di Indonesia saja, bahkan dinegeri asalnya pun yakni Pakistan, cara-cara tersebut sudah pernah dilakukan. Namun kenyataannya sampai saat ini jemaat Ahmadiyah tetap eksis malah semakin berkembang, bahkan pada kasus-kasus tertentu cenderung melakukan perlawanan. Hal ini seharusnya memberi pelajaran pada kita bahwa cara-cara kekerasan bukanlah cara yang tepat untuk menghentikan dakwah jema’at Ahmadiyah. Mengulang-ulang kegagalan sesungguhnya merupakan bentuk lain dari kebodohan dan menimbulkan mudorot yang amat besar dalam konteks berbangsa dan bernegara.
            Oleh karena itu, mari kita gunakan cara-cara cerdas dalam “menyelamatkan” golongan yang kita anggap “tersesat” dengan menularkan energy positif sembari menunaikan ajaran Islam yang lebih kaffah, sehingga iklim Islam yang Madaniyah dapat tercipta dibumi Bhinneka Tungggal Ika ini dan mengembalikan karakter bangsa yang santun, ramah dan toleran seperti cerita nenek moyang dahulu. amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar