Sabtu, 07 Mei 2011

PEMEKARAN KABUPATEN LOMBOK TIMUR: Antara Kepentingan Penguasa dan Penderitaan Rakyat


Oleh: Mastur Sonsaka

          Rencana pemekaran kabupaten Lombok Timur sesungguhnya telah lama diwacanakan yakni sejak kepemimpinan H. Sahdan, namun karena beberapa factor rencana itu kemudian kandas. Pada tahun 2006 Bupati Lombok Timur H. Ali Bin Dahlan, SH kembali menggelindingkan wacana pemekaran Kabupaten Lombok Timur, namun lagi-lagi entah kenapa hajat besar pemimpin Lombok Timur itu gagal lagi. Di era kepemimpinan Drs. H. Sukiman Azmy, MM dan wakilnya H. Syamsul Luthfi, SE dewasa ini, wacana pemekaran kabupaten Lombok Timur ini untuk kesekian kalinya dikomandangkan lagi. Kali ini pemerintah kabupaten Lombok Timur di bawah kepemimpinan bupati dan wakil bupati hasil Pilkada 2008 ini terkesan lebih serius dalam upaya merealisasikan gawe yang diyakini ampuh dalam mewujudkan visi dan misi pasangan ini pada saat kampanye beberapa waktu lalu yakni Adil dalam Kesejahteraan dan Sejahtera dalam Keadilan.
          Selain itu, setidaknya ada tiga argumentasu fundamental yang melatar belakangi rencana pemekaran kabupaten Lombok Timur ini. Paling tidak hal inilah yang sering dilontarkan oleh tim pemekaran setiap diadakan sosialisasi. Tiga argumentasi tersebut antara lain: Pertama, mempermudah akses pelayanan public, Kedua, memperbesar porsi anggaran dari pusat melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Yang Ketiga, memperluas lapangan pekerjaan. Artinya, percepatan pembangunan daerah dan percepatan tercapainya kesejahteraan rakyat rupanya menjadi tujuan akhir dari rencana pemekaran ini.

Untungkah Rakyat Dengan Rencana Pemekaran Ini?

          Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentu kita harus melakukan analisis yang obyektif atas kondisi Lombok Timur dan kemudian di elaborasi dengan tiga argumentasi yang menjadi latar belakang munculnya gagasan pemekaran tersebut di atas agar kita tidak terjebak pada pandangan subyektif-apriori terhadap rencana pemerintah tersebut, baik dalam posisi menerima ataupun menolak wacana tersebut. Artinya, masyarakat Lombok Timur harus lebih kritis dalam menyikapi persoalan yang menyangkut masa depan rakyat Lombok Timur ini.
          Belajar dari daerah-daerah yang telah lebih dahulu melakukan pemekaran, kita menemukan bahwa, kurang lebih sama argumentasi yang dipakai untuk mengadakan pemekaran daerah, dan kita menemukan kenyataan bahwa tidak serta merta pemekaran suatu daerah menimbulkan pelayanan public menjadi mudah, tidak juga porsi anggaran yang besar menjamin peningkatan kesejahteraan rakyat dan lebih dari itu terbukanya lapangan pekerjaan ternyata hanya dinikmati oleh sebagian kecil dari masyarakat. Artinya, percepatan pembanguna dan tercapainya kesejahteraan bagi rakyat sebagai tujuan akhir dari pemekaran suatu daerah belum tercapai. Hal ini tentu sebagai konfirmasi bagi kita bahwa subsatnsi dari pemekaran suatu daerah bukanlah terletak pada tiga argumentasi tersebut.
          Oleh karena itu, pemekaran kabupaten Lombok Timur niscaya diarahkan pada hal-hal yang substansial baik dalam ranah proses terlebih lagi tujuannya. Secara konseptual maupun operasional argumentasi yang menjadi latar belakang munculnya wacana pemekaran diberbagai daerah termasuk kabupaten Lombok Timur di dalamnya sesungguhnya lemah. Dalam konteks pelayanan public misalnya Lombok Timur bagian utara dan Lombok Timur bagian Selatan menjadi problem tersendiri terkait penentuan ibu kota kabupaten, yang kedua mengenai porsi anggaran, menurut Kabag Tapem Setda kabupaten Lombok Timur pada saat sosialisasi rencana pemekaran Lombok Timur di Kantor Kecamatan Sakra menyampaikan bahwa kabupaten Lombok Timur menerima Dana Alokasi Umum (DAU) sebanyak kuarng lebih 900 M/tahun. Tentu saja ini jumlah yang tidak sedikit. Dalam acara Pelatihan Pemantapan TUFOKSI BPD se-NTB pada tanggal 23 Maret 2009 di Hotel Jayakrta Mataram, DITJEN PMD DEPDAGRI mengatakan bahwa rumus penggunaan DAU adalah 25% untuk belanja kepegawaian daerah dan 75% harus didistribusikan ke desa. Dengan demikian, tentu kita bisa hitung sendiri berapa mestinya yang diterima desa tiap tahun.
          Sedangkan terbukanya lapangan pekrjaan hanya akan dinikmati oleh segelintir orang saja, sementara para petani tetap saja menjadi petani, nelayan tetap saja menjadi nelayan, buruh tani tetap saja menjadi buruh tani, PKL tetaplah PKL, begitu juga sopir Angkot-Angdes, kusir cidomo, ojek, buruh pasar maupun buruh migrant. Dengan demikian, apakah rakyat kecil diuntungkan oleh pemekaran ini?..
          Akhirnya, pemekaran bukanlah substansi, akan tetapi bagaimana menghadirkan pemerintahan yang baik dan bersih dengan melakukan reformasi birokrasi kemudian membuat kebijakan dan regulasi yang berpihak kepada rakyat di negeri ini adalah kebutuhan riil bagi rakyat…Wallahu A’lamu Bishawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar